Gilanya Mereka
Semenjak beberapa minggu setelah ibuku sakit, adik ibuku tidak lagi tinggal dirumahku. Mungkin lelah dengan rutinitas yang tak khayalnya seorang perawat. Bahkan ayah kerap pergi keluar kota, dengan tenggang kepergiannya lebih lama dari sebelum ibu jatuh sakit. Berdalih mencari dana pengobatan ibuku atau hanya sebuah kamuflase. Aku tidak peduli. Toh dimulai dari berobat jalan, terapi sampai obat untuk perawatan ibu dialirkan dari tabunganku yang semula direncanakan untuk biaya kuliahku. Hingga suatu waktu, aku mendapati ayah pulang membawa wanita lain.
Darah itu berdesir, menjalar menelusuri tepian pembuluh di sekujur tubuhku. Hangat dan sedikit membakar di pelupuk kepala. Aku marah. Jantungku berdegub, membahana mendekati hati. Entah menurut biologi atau ilmu pengetahuan lain, teori mengenai perasaan yang mengikuti pikiran atau Pikiran yang mempengaruhi perasaan. Kalau sedang dilanda seperti ini akal sehatku terasa mati. Lidahku kelu untuk berfilsafat. Jangankan berteriak, jika oleh satu pekikan saja bisa memecahkan sanubari dan mengalirkan suhu kepuncak pikiranku lalu meleleh lepas menjadi air mata yang mengalir bebas. Tapi aku tidak ingin salah satu solusi itu menjadi alternatif pelampiasan.
“Saat emosi, segera berdiam, tenangkan dirilah, jika aku berdiri maka hendaklah duduk, jika aku memanas carilah tepian dinding yang dapat kutinju tanpa mengeluarkan suara, redamlah dengan mengucap asmaNya”. Hatiku berusaha mencair. Penawarku adalah penjelasan serta kejujuran. Penjelasan mengenai keputusan ayah serta kejujuran mengenai apa yang aku hadapi. Aku rindu kehangatan, canda tawa ditengah keluarga. Yang mungkin kini berangsur pudar kian terlupa seperti sejarah yang kerap hanya menjadi sebuah cerita.
Belajar percaya apalagi ikhlas itu adalah kerja keras.
Memasuki Bulan ke empat
Dari hari kehari ibuku tidak menampakkan kemajuan. Setiap aku berikan sarapan ibuku selalu muntah. Aku tidak tega. Aku kehabisan cara. Aku tidak punya semangat. Terlebih ketika kakakku menyibukan diri dengan pekerjaannya diluar sana. Aku tidak tahan lagi. Kerap kali ketika aku terdesak jenuh, penat. Dan ketika itu pikiran-pikiran pendek memenuhi pikiranku. Sekian kali aku berniat meminum obat serangga yang sengaja aku beli, atau berniat membenamkan kepalaku di bak mandi. aku cape. Aku benar benar terpukul. Aku takut kehilangan ibu. Aku takut masa depanku tanpa arah. Aku tidak punya seorang yang mampu aku ajak bertukar pikiran mencari solusi terkadang aku menjadi sangat begitu berani tapi terkadang aku menjadi sangat rapuh tak terkendali
Suatu ketika aku tidak tahan aku membentak kakaku untuk bertukar peran. kakakku mengatakan bahwa akan lebih parah jika kakaku berhenti bekerja yang kala itu baru dirintisnya, yang kemudian aku tau bahwa selama ini kakakku meminjam uang koperasi diperusahaannya untuk biaya pengobatan ibuku diluar keputusan ayahku.





0 komentar:
Posting Komentar