01.16

Malam diHari Pertama

Ketika itu aku telah terlelap. Aku tidur bersebelahan dengan ibuku. Malam itu kami berdua tidur dikamarku, kami tidur sekitar pukul tiga pagi ditemani suara seorang penyiar radio yang kerap bertugas menginformasikan lalulintas dikota Jakarta yang saat itu sedang diguyur hujan merata. Aku sempat membicarakan keinginanku untuk berlibur di sebuah rumah yang terletak dikawasan Bogor. Aku berniat mengajak ketiga sahabatku untuk menginap beberapa malam sebelum kami mulai disibukkan dengan aktivitas diuniversitas maupun kegiatan lainnya yang berkemungkinan mampu membuat kami terpaksa mengurangi intensitas pertemuan. Ibuku memberi izin tanpa banyak berkomentar. Malam itu kami membuat minuman suplemen yang biasa kami konsumsi. Aku sama sekali tidak mendapat firasat apapun. Sesaat kuterlelap, tak lama setelah itu. Kejadian menakutkan itu bergulir, terjadi begitu saja. Merinding setiap kali aku harus membayangkan dan memceritakan rekaman adegan yang mengiris itu.

Ibuku terbangun untuk kekamar kecil. Dan entah kenapa tubuhnya tidak bisa bergerak. Tangannya meremas tanganku. Aku yang kala itu masih terlelap segera menepis kasar tangan ibuku, baru setelah beberapa kali ibuku meremas tangan ku dan mencengkramku dengan segenap kekuatan yang dimilikinya, aku pun terbangun aku sempat berbicara dengan ibuku sebelum ibuku benar-benar melupakan kejadian malam itu dan bahkan malam-malam dihari sebelumnya, dan bahkan melupakan segala yang terjadi dalam hidup ibuku. Ibuku sempat meminta aku memanggilkan ayah dikamarnya, namun aku teringat bahwa malam itu ayahku sedang bertugas keluar kota dan kebetulan saat itu adik ibuku sedang menginap dan tidur bersama kakaku. Ibuku mengatakan bahwa tangan nya terasa kaku seperti kesemutan yang teramat sangat dan berangsur-angsur secara merambat pelan tapi pasti menjadi dingin. Kaku yang menjalar yang bermula dari ujung kaki, paha, perut dan kini bercokol ditangan berbatas leher. Ibuku khawatir itu menjadi bertambah dan menghentikan denyut jantung dan kemudian nafas. Aku memutuskan untuk membangunkan adik ibuku. Aku berlari pontang-panting menuju kamar kakaku. Berkali-kali aku guncang tubuh kakaku dan adik ibuku secara bergantian tapi tidak dari keduanya maupun salah satunya menunjukan sadar dan terbangun, aku kembali menuju kamarku, berlari tak karuan kulihat ibuku memaksakan diri untuk bangkit dari kasur. Aku memperhatikan tanpa bersuara bahkan nafasku tertahan kering dikerongkongan. Mata ku terbelalak memandangi tubuh ibuku yang seakan tidak bertulang. Seakan tubuhnya tidak berpenyangga. Ibuku dalam keadaan ingin duduk tapi yang kulihat malah lebih mirip orang yang merobohkan tubuh kearah sebelah kiri tubuhnya yang lunglai dan terjepit diantara usaha yang sia-sia. Aku menjerit tertahan. Jeritan itu mampu memboyong kakaku dan adik ibuku berlari panik menuju kamarku. Aku tidak tau apa yang harus kulakukan. Aku memeluk tubuh ibuku yang kemudian bergerak tidak karuan dan aku tau bahwa ibuku tidak mempercayai keadaan itu, ibuku terus saja bersikeras untuk berjalan kekamar kecil. Diantara sadar dan tidak ibuku dipapah oleh kakaku dan adik ibuku berjalan kekamar mandi. aku terus memastikan. Aku mencuri pandang melihat kedua telapak kaki ibuku yang tidak menapak. Tubuh ibuku yang lemas, wajah ibuku yang pucat. Ibuku beristirahat ditempat tidur seperti semula, aku manggantikan bajunya yang basah oleh keringat yang terasa begitu dingin dan lembab. Ibuku tidak henti-hentinya muntah. Muntah air yang mampu membuatnya kehabisan tenaga dan mampu membuat kami kewalahan dan tidak tega. Kami panik.

Setelah berulang kali berusaha menelpon ayahku, aku putus asa. Adik ibuku tidak berhenti berbicara bertanya kepadaku, mengenai kenapa ibuku, mengenai nomor telepon lain ayahku yang bisa dihubungi dan pertanyaan pertanyaan lain yang mampu membuat kepalaku ingin meledak. kuperhatikan kakaku hanya terdiam terpaku dan baru sekali itu aku melihatnya seperti begitu terpukul dan kian tertangkap olehku ia mengatakan sudah saatnya…sudah saatnya yang aku tidak mengerti apa maksud dari arah pembicaraannya.

Ketika siang itu

Aku berselisih pendapat dengan ayahku. Ayah mengatakan bahwa ibu hanya terlalu lelah. Dan ayahku memberikan obat-obatan yang dipahaminya mampu mengatasi penyakit ibuku. Aku berusaha mengemukakan pendapatku yang tidak setuju. Menurutku ibuku bukan terkena penyakit biasa. Penyakit itu harus dibawa kedokter, atau paling tidak kepada seseorang yang lebih berkompeten untuk memutuskan bukan tebak-tebak pencegahan atau obat yang baru kemungkinan. Aku berusaha bersikeras, aku mencari dukungan tapi aku kecewa kakakku hanya terdiam bisu yang membuatku takut seperti berjuang sendirian sedangkan adik ibuku hanya berharap keputusan ayahku benar karena penghargaan dia seorang kepala rumah tangga yang mampu bertanggung jawab menjaga dan mencari solusi dikala anggotanya mengalami sesuatu yang genting. Aku tidak. Aku benar-benar tidak terima, entah batinku menjadi lebih berani dari sebelumnya. Aku benci ayahku yang tidak demokrasi. Aku teriris ketika memandang ibuku yang tidak berdaya.