EpiLoG mY LiFe ...>>>
Aku terperangah, mataku tertuju pada sosok dihadapanku. Kutatap perempuan setengah baya itu terkulai tak berdaya, seakan menanti uluran pertolongan dari setiap yang ada di sekelilingnya. Batinku tak mampu menahan gejolak emosional yang kian bergemuruh tak terbendung, yang semakin kerap dan kian menyesak didadaku. Entah sudah berapa kali aku meyakinkan diriku bahwa apa yang sedang aku hadapi ini adalah kenyataan, bukan mimpi. Sekalipun mimpi, adalah mimpi terburuk dalam hidupku yang sangat mendesak, memaksaku untuk terbangun.
Aku perempuan. Perempuan berambisi yang baru memiliki rencana untuk mewujudkan sejuta cita-cita akademik selayaknya perempuan seusiaku. Beberapa hari yang lalu kelulusanku dibangku sekolah menengah baru diumumkan. Hasilnya memuaskan. Bahkan cukup lebih dari sekedar puas. Aku bersyukur. Seperti temanku yang lain, bahwa seharusnya hari-hari ini aku disibukkan dengan mencari dan mendaftar beberapa universitas favorit yang diimpikan untuk ditempati dan dipilih sebagai mediator untuk meneruskan masa depan, yang entah mungkin bertujuan untuk menjadi apa aku kelak dimasa mendatang. Walau terkadang pada prakteknya pilihan-pilihan mediator itu, yang terpenting bukan bertujuan membentuk generasi menjadi apa, tapi yang umumnya dipertimbangkan adalah papan bertuliskan nama universitas terkenal mampu membuat seseorang yang ada didalamnya menjadi terjamin atau mungkin hanya mempertahankan sebuah gengsi saja tanpa peduli telah seberapa banyak harta yang dikeruk oleh papan bergengsi demi mempertahankan sebuah keeksistensian seorang mahasiswanya.
Berbeda dengan ketiga sahabatku, lain pula dengan diriku. Hari ini kedua sahabatku, Olga dan Wigati, dinyatakan lulus disebuah perguruan tinggi ternama, seorang di universitas negeri diluar kota, dan seorang lagi di universitas swasta yang cukup bergengsi. Seorang sahabatku yang lain, Nikita memutuskan untuk bekerja dan mujurnya telah beberapakali mendapat panggilan interview. Sedangkan aku?. Aku sedikit terpukul. Aku dinyatakan lulus dengan predikat B untuk sebuah Sekolah Tinggi Akuntansi Negara *STAN. Dengan dukungan ibuku serta modal beasiswa dari sekolahku maka lusa aku bersiap untuk menempati asrama. Perfect. Namun, sejak malam itu, impian itu berubah menjadi impian belaka bagai langit cerah yang berubah kelam karena mendung. Kecewa.
Hari ini, dihari aku seharusnya merayakan dan sedikit menikmati jerih payahku belajar semasa dibangku sekolah dengan nilai yang mati-matian aku pertahankan dan beberapa prestasi yang berusaha aku hasilkan, dan apa yang kuperoleh?, Seorang yang punya otak dan ambisi untuk maju, kini harus duduk termanggu meratapi kenyataan yang tidak pernah dibayangkan sebelumnya. Ibu-ku. Seseorang yang aku miliki untuk bergantung, ambruk tak berdaya dikalahkan penyakit yang tidak pernah dihiraukan. Pusing dan lelah yang pernah menyerang disaat mengantar aku kesana-kemari untuk ber-administrasi di beberapa universitas ternyata kian tumbuh dan subur bercokol di dalam tubuh tua itu. Diabetes dan darah tinggi, begitu keputusan hasil diagnosa yang berwenang setelah memeriksa tubuh ibuku yang saat ini lebih cocok disebut strook sebagai sebuah kesimpulan sebuah penyakit yang harus dihadapi ibuku.
Dilema terjadi. Aku membatalkan cita-cita semu itu. Aku tidak mungkin meningggalkan ibuku. Bagiku Ibu adalah nadi yang kian berdenyut dalam setiap iringan nafas dan perbuatanku. Aku tidak ingin karena keegoisan akan sebuah ambisi membuat aku tidak bisa berbuat sesuatu terhadap ibuku. Aku tidak ingin jika suatu waktu, disaat aku sedang menjalani proses belajar di asrama, aku hanya mendapati kabar, surat, atau sekedar telepon kalau ibu menghembuskan nafas terkhir dan ketika itu aku tidak berada di sisinya. Aku tidak seperti itu. Anak macam apa aku ini ?. Aku tidak mau sia-sia. Aku ingin menemaninya. Menjaga, merawat, sekalipun aku tidak bisa menyembuhkan ibu dengan mengembalikan kondisi fisiknya seperti sebelumnya, paling tidak aku tau setiap detik perasaan ibuku atau perkembangan kemajuan ibuku, tepat didepan mataku.
Aku sadar bahwa ini terlalu melankolis untuk diceritakan secara berlarut-larut dan seakan berlebihan. Tapi ini yang aku alami disetiap harinya. Mungkin kenyataan ini memang terlalu sulit untuk aku yang baru genap berusia 18 tahun. Aku dituntut berpikir cepat untuk mengambil keputusan dan berusaha memenuhi tanggung jawab sebagai anak sekaligus mengambil alih tugas ibuku selaku ibu rumah tangga. Aku bungsu. Aku mempunyai seorang kakak laki-laki selisih lima tahun diatasku. Kakakku bekerja dan kuliah semester lima disebuah universitas swasta di Jakarta.





0 komentar:
Posting Komentar