01.21

Saat Hati yang Berdoa

Ketika air suci itu menyentuh permukaan wajahku, ku semakin memantapkan niat. Tak kuasa butiran kristal yang sedari tadi kutahan mengalir dari mataku yang kian berkaca. Aku semakin menundukkan kepala dan berusaha membuka hati ke hadirat untuk memohon ridho dari-Nya. Ku basuh kedua tanganku yang telah banyak berkehendak. Ku kumur mulutku yang senantiasa berbisa. Kubasuh wajahku dengan lembut diiringi tak hentinya mensyukuri paras yang terbentuk dan terjalin sacara selaras dan yang tak seharusnya aku sombongkan. Merambat air itu meresap ke ubun kepalaku yang semula pening dan mendidih. Tak berlalu kusucikan kedua telingaku. Kedua panca indera yang telah mengabaikan amanat sahabat yang sayang kepadaku tak terlebih nasihat ibuku. Kutuntaskan wudhu itu kepada tapak kaki yang senantiasa melangkahkan kaki mengikuti naluri nikmatnya dunia.

Kulafalkan beberapa lantunan ayat suci yang terdengar sayup dari surau tak jauh dari pondokan yang sengaja kusewa satu malam. Merdunya suara surga yang terbit mengisi megah langit menjelang subuh ditengah para penduduk Bandung selatan yang terlelap berselimut hangat. Kuteruskan langkah ku menembus dingin dan embun yang menggelitik disela rajutan sweater yang kukenakan, suara itu semakin terdengar dan senantiasa menyusup kerelung hatiku yang hampa.

Aku rapuh. Berlebihan. Lautan bara semangat yang ada dihidupku berubah menjadi arang yang siap terpadam. Norak. Tetapi memang itu yang kurasakan. Aku pernah tertawa lantang saat temanku nekad hendak bunuh diri karena suatu masalah, namun kini aku mengerti hilangnya separuh hati dan sekalipun aku tidak pernah menyangka bila permainan kehidupan yang umumnya dikonsumsi para dewasa, permainan yang paling aku hindari, dan permainan yang paling sering aku tertawakan, kini merajai dan menggrogoti sebagian perjalanan kehidupanku.

Aku lepaskan alas kayu itu dari kedua kakiku. Aku bersiap. Kukenakan penutup kepala dan membiarkannya terbentang bebas menutupi pundak sampai pinggang. Tak lama aku sudah berada didalam istana mungil dengan kehangatan batin. Aku pun sudah terlarut diantara jemaah perempuan yang sudah berkumpul sebelumnya.

“Takdir adalah rahasiaNya”

‘Nasib adalah kehendakNya”

“Kepulangan, Kehidupan, Rizki dan segala kemegahan bahkan sedih adalah tak luput dari pemberianNya”

Tak kuasa kumenahan getir gelisah perasaanku. Bayangan wajah ibuku melintas dibenakku. Bayangan ketika ibu menghembuskan nafas pertanda batas menembus kehidupanya di duniawi berhenti. Bayangan ketika ibu mengikuti dua kalimat syahadat yang kubisikan ditelinganya secara perlahan. Hanya ingatan itu yang mampu aku berikan padanya. Meskipun belum sebanding dengan rasa yang diberikan darinya.

Aku yakin dibalik kalbu itu, ibuku bahagia.

“Kalau tak ganggu malammu, Ibu, aku cuma rindu, meski aku sudah tidak punya muka dihadapmu. Dalam sujudku dibandung yang dingin aku coba mencari ridho atas Ibu. Salah dan berlebihankah doa yang kupanjatkan.”.

………….

Saat aku tertawa diatas semua

Saat aku menangisi kesedihanku

Aku ingin engkau selalu ada

Aku ingin engkau

Aku kenang

Selama aku masih bisa bernafas masih sanggup berjalan

Ku kan slalu memujamu

Meski ku tak tau lagi engkau ada dimana

Dengarkan aku ku merindukan mu

Saat aku mencoba merubah segalanya

Saat aku meratapi kekalahanku

Aku ingin engkau selalu ada

Aku ingin engkau

Aku kenang

Dmasiv/Merindukanmu

*Special thanks for Kel. Besar Pecinta Alam Reksa Wana Bhakti